Saturday 4 May 2013

Kisah MISTERI : Misteri Rumah Tua

         Aku tertegun memandangi sebuah rumah bergaya modern dihadapanku. Rumah itu cukup besar

 dibanding beberapa rumah yang kutempati sebelumnya. Halamannya luas dengan hamparan rumput

hijau yang hampir menutupi seluruh halaman. Di sisi kanannya terdapat kolam ikan kecil yang

mempercantik penampilan rumah itu. "Kenapa diam disitu Win? Ayo masuk, ini rumah baru kita,"

ujar mama bergegas memasuki rumah itu. Ditangannya ada tas besar berisi baju yang belum sempat

terbawa kemarin, saat kami membereskan rumah yang lama. Kuharap ini adalah kepindahan kami

yang terakhir. Sebelumnya kami sering berpindah rumah, karena tuntutan pekerjaan papa. "Ini kamar

Winda, cukup luas kan? Mama membuka pintu sebuah kamar yang tertata rapi. Bau pengharum

ruangan semerbak tercium di kamar itu. " Winda suka?" Tanya mama lagi. Aku mengangguk sambil

membuka jendela kamar agar udara masuk. Dari kamar ini, aku bisa melihat kesekeliling kompleks

tempat tinggalku. Termasuk rumah tua bergaya kuno yang berada di ujung jalan setapak itu. Tiba-tiba

aku tersadar. "Kenapa hanya rumah itu yang bergaya kuno?" Pikiranku heran. Tapi segera kutepikan

pertanyaan itu. Akan kucari tahu nanti. Saat makan malam, aku menanyakan tentang rumah tua itu

pada mama. "Mama nggak tahu persis sebabnya, tapi kata warga kompleks ini, rumah itu peninggalan

seorang bangsawan Belandan yang menolak dibongkar." "Siapa yang tinggal disitu sekarang, ma?"

tanyaku penasaran. "Katanya sih anak perempuan bangsawan Belanda itu. Dia menikah dengan laki-

laki indonesia, dan tinggal dirumah itu bersama suaminya." "Mama pernah ketemu mereka?" tanyaku

lagi. "Belum, karena setiap mama dan papa kemari, rumah itu selalu sepi." Jelas mama sambil meny-

uap nasi ke dalam mulutnya. "O ya, Win kamu masih ingat teman papa yang tinggal deket rumah tua

itu?" Tanya papa. Aku mengangguk. Papa memang pernah mengajakku beberapa kali ke sana sebel-

um kami pindah kemari. Bahkan aku cukup akrab dengan Lili, anak teman papa itu, meski kami jara-

ng bertemu. Tapi aku tidak pernah tertarik untuk memperhatikan rumah tua bergaya kuno itu.

"Mainlah kesana sore nanti. Lili pasti senang ketemu Winda." Kata papa lagi. Sekali lagi aku menga-

ngguk. Sorenya aku pergi ke rumah Lili dengan mengendarai sepeda. Dia senang melihat kedatanga-

nku. Kami berbicara akrab seperti dua sahabat yang lama tidak bertemu. Tepat jam lima sore aku

pamit pulang. "Kalau ada waktu, besok sore ke sini ya? Nanti kutunjukkan koleksi kasetku." Pesan

Lili saat aku mau pulang. Lili memang penggemar berat musik, terutama R&B. Akupun suka musik,

tapi tidak segila Lili. "Besok aku datang jam tiga sore, jangan kemana-mana, ya?" "Oke, tapi nggak

janji lho!" Lili mengacungkan telunjuknya padaku "Deal!" jawabku. Beberapa saat kemudian, aku

sudah mengayuh sepedaku menuju ke rumah. namun saat melewati rumah tua itu, aku melihat seora-

ng anak perempuan berusia lima tahun tersenyum padaku. Anak cantik itu berkulit putih dah berhid-

ung mancung. Tapi dia memiliki mata dan rambut ciri khas Asia. Aku berhenti sejenak dan meman-

dangnya sambil tersenyum. Dia pun tersenyum, sambil memperlihatkan lesung pipinya yang meng-

gemaskan. Bocah perempuan itu lari menuju ayunan yang terletak di samping rumah tua itu. Aku be-

rmaksud menghampirinya. Tapi saat aku hendak memarkir sepedaku, anak itu sudah tidak ada disana

"Mungkin dia sudah masuk kedalam rumah tua itu." Pikirku. Lalu aku memutuskan untuk pulang saj-

a, karena hari sudah semakin sore, dan melupakan kejadian itu. Namun esok harinya, kejadian yang

sama terulang lagi. Bocah perempuan itu tersenyum saat melihatku didepan rumah tua itu, lalu ia be-

rlari menuju ayunannya. Dan saat hendak kuhampiri, lagi-lagi dia sudah tidak ada disana. "Mungkin

dia malu bertemu aku," pikirku kemudian. "Atau. . .mungkin dia tidak mau diganggu," Pikirku lagi.

Saat kejadian itu terulang untuk keempat kalinya, aku putuskan untuk menanyakannya pada Lili.

"Mungkin kamu terlihat seram buat dia, makanya dia kabur." Ledek lili waktu itu. "Enak saja, wajah-

ku kan lebih cantik dari kamu." Balasku sambil tersenyum. "Siapa bilang begitu?" Tanya Lili sambil

bertolak pinggang. "Mmm. . . siapa ya? Pacarku mungkin," Jawabku sekenanya. "Pacar dari mana?

Dari bulan?" Ledek Lili lagi. "Lho, jadi kamu belum tahu, kalau aku jadian sama Shane Westlife?"

Balasku nggak mau kalah. "Oh ya?" Bukannya kemarin Shane juga melamarku? Waah. . . kalau gitu,

kita ribal dong!" "Bener juga ya? Kalau gitu nggak jadi deh!" Kataku lagi. "Nggak jadi pacarmu?" ta-

nya Lili. "Bukan, tapi gak jadi melamarmu. .ha. .ha" "Huuu. . . dasar!" Lili memajukan bibirnya.

Aku tertawa melihat tingkahnya itu. Terkadang, Lili bisa berubah menjadi konyol. Udah sore nih, aku

pulang dulu." Pamitku pada Lili. "Hati-hati, soalnya. ." Lili terdiam. namun beberapa saat kemudian

ia menambahkan, "Aku belum pernah bertemu anak itu." Nada suaranya terdengar aneh. Tapi aku

tidak terlalu memperdulikannya. Aku hanya ingin segera dirumah sebelum maghrib. Aku berhenti

sebentar didepan rumah tua itu. Tapi bocah perempuan itu tidak juga muncul. Akhirnya kuputuskan

untuk pulang saja. "Kita akan punya tetangga baru." Kata mama saat kami telah selesai makan malam

"Mereka akan menempati rumah tua itu. Syukurlah, akhirnya rumah itu ada penghuninya lagi."

Mama menambahkan. "Lho, memangnya penghuni yang lama kemana, ma?" tanyaku lagi sambil

membawa piring-piring kotor ke tempat cucian. "Mereka pindah, karena bangsawan Belanda masih

trauma dengan kematian putri satu-satunya yang baru berusia lima tahun." Aku terkejut mendengar

penjelasan mama. "Bocah perempuan itu meninggal dunia dalam usia muda dengan cara mengenask-

an. Saat itu, dia sedang bermain ayunan di halaman. Lantas ada buronan yang melarikan diri dari

tahanan, bersembunyi di rumah itu dan bisa kamu tebak khan. . ." komen Mama setengah bertanya.

"Penjahat itu membunuhnya?" "Yap! Anak itu diketemukan tewas mengenaskan. . ." Jantungku ber-

debar tak keruan dengar pengakuan Mama. Ingin rasanya aku tak mempercayai cerita itu, tapi . . .

"Kok Lili nggak pernah cerita?" tanyaku, masih tak percaya. "Soalnya kejadian itu khan udah lama.

Saat itu Lili dan keluarganya belum pindah kemari. . ." Mama masih bercerita panjang lebar, tapi aku

sudah tidak mendengarnya lagi. Aku terduduk lemas. Keringat dingin, membanjir. "Kalau benar anak

itu meninggal empat tahun yang lalu, berarti bocah perempuan yang sering kulihat tiap sore itu adala-

h. . ." *Arm

Kisah MISTERI : Misteri Rumah Tua Rating: 4.5 Diposkan Oleh: Jason Fernando

0 komentar:

Post a Comment

Terima Kasih Telah Mengunjungi Blog Sobat Kita Semuanya
Semoga Posting Disini Bermanfaat Bagi Anda